ALAM perbukitan dan pegunungan hijau membentang di depan mata. Dari celah-celah deretan bukit dan gunung itu muncul daerah aliran sungai dengan air yang jernih. Seorang petani bertopi caping, bercelana pendek tanpa baju dengan pacul di bahu kiri dan parang diikatkan di kiri pinggang tampak berdiri di sungai.

DIA memandangi areal persawahan di kaki gunung di tepi sungai. Seorang petani lain tampak sedang menggembur petak ketiga dan di sekelilingnya padi sawah menghijau. Di dataran di tepi atas sawah itu terdapat hamparan tegalan berisi, antara lain, pisang, sayur-sayuran, pohon kemiri sedang berbunga, dan tanaman hijau lainnya.

Bentangan alam itu terpotret dalam sebuah gambar besar yang dijadikan latar depan peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) XXIII di Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), 24-26 Oktober 2003. Melalui media itu panitia, yakni Keuskupan Ruteng dan Pemkab Manggarai, ingin membenahi kondisi riil daerahnya yang subur dan hijau untuk memacu etos kerja.

Alam yang subur dan hijau didukung curah hujan 3.000-3.500 milimeter di dataran tinggi dan 1.500 milimeter di dataran rendah, dengan bulan basah 7-8 bulan (Oktober-Mei), mendukung usaha tani di Manggarai. Itu sebabnya sebagian besar penduduknya, 86,79 persen, menjadikan pertanian sebagai bidang usaha pokok.

Sebagian besar daerahnya berbukit, bergunung, dan daerah landai kurang dari 15 persen. Di lereng bukit dan daerah landai itulah masyarakat membuka sawah (34.180 hektar), ladang (76.328 hektar), kebun rakyat dan campuran (98.092 hektar), dan padang ternak (280.401) dengan total 489.001 hektar atau 68,52 persen.

Daerah persawahan Lembor, Reo, Langke Rembong dan Poco Ranaka, Elar, Kota Komba, Borong, dan Kuwus, misalnya, merupakan sebagian dari deretan bentangan alam yang riil hijau dan subur tadi. Di sini, di Manggarai, berkembang usaha tani perkebunan rakyat, sawah, dan tegalan yang cukup luas.

Sebutan Manggarai tidak dimaksudkan Kabupaten Manggarai saja, tapi juga Kabupaten Manggarai Barat karena dalam peringatan HPS itu hadir utusan petani dari dua kabupaten ini. Dari 300 peserta HPS, 200 petani hadir, semuanya dari 72 paroki di dua kabupaten itu.

Berangkat dari potensi riil tadi, diikuti tingkat produksi, Manggarai sering dijuluki lumbung pangan NTT. Dari sawah saja, daerah seluas 7.136,4 kilometer persegi menghasilkan 178.641-189.000 ton setara beras, dengan surplus 30.000-37.000 ton per tahun.

Di tengah kesulitan ekonomi nasional, produksi padi meningkat rata-rata 3,9-5,7 persen per tahun. Bahkan pada tahun 1998, terjadi peningkatan produksi padi paling gemilang yakni 19,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya karena ada upaya swasembada beras.

Produksi padi meningkat karena upaya khusus pemanfaatan irigasi Lembor, Borong, irigasi pedesaan Satar Mese, Wae Ces, dan irigasi di Kecamatan Komodo. Di subsektor pangan, padi (setara beras) menyumbang 64,74 persen, jagung 16,46 persen, kacang-kacangan 3,87 persen, dan umbi-umbian 14,92 persen.

Usaha bidang perkebunan meningkatkan produksi dan produktivitas lahan. Jika sejak berpuluh-puluh tahun petani Manggarai mengembangkan tanaman perkebunan monokultur seperti kopi, cengkeh, kemiri, dan kelapa, kini berbaur (polikultur) dalam satu kebun dengan tambahan jambu mete dan vanili.

Begitu pula peternakan, perikanan dan kelautan, serta kehutanan. "Jangan heran jika hasrat penduduk di sini mengonsumsi di sektor pertanian mencapai 87 persen (tepatnya 86, 79 persen)," jelas Bupati Manggarai Anton Bagu Dagur kepada Kompas.

POTENSI ekonomi riil itulah yang membuat daerah ini dijuluki lumbung pangan NTT. Manggarai pula daerah pertama di NTT yang menikmati ekspansi agribisnis dari Jawa-Bali sehingga setiap hari sekitar 7-10 truk bermuatan masing-masing 12-16 ton mengangkut hasil pertanian melalui Labuanbajo.

Hasil pertanian dari daerah ini terutama produk hortikultura seperti pepaya, pisang, serta komoditas perdagangan seperti kopi, vanili, kakao, jambu mete, kopra, kemiri, dan kapuk. Biasanya truk-truk itu tiba dari Jawa membawa produk olahan hasil pertanian (agroindustri).

Meski demikian, di bawah terang tema umum HPS "Bekerja Sama Memerangi Kelaparan" dan subtema "Pangan yang Sehat dan Membangun Paguyuban Tani Lestari", peran petani dan usaha tani di Manggarai digugat lagi. Sebab, income per kepala penduduk hanya Rp 1,4 juta per bulan dan di tingkat petani lebih rendah lagi.

"Walaupun kita berada dalam rasa syukur bahwa tanah Manggarai masih memberikan air, tanaman yang menjamin makanan kita, namun kita pun masih dinaungi oleh perasaan cemas," kata Uskup Dioses Ruteng, Mgr Eduardus Sangsung SVD, yang tampil dalam peringatan HPS.

Uskup menyebutkan, berkurangnya air dan mengeringnya sumber air karena penggundulan hutan merupakan salah satu fakta mencemaskan. Hal sama diungkap Anton Bagul Dagur dan pemerhati masalah pertanian di NTT, Viator Parera.

Persoalan faktual paling mendasar lain adalah hilangnya semangat bekerja keras yang melahirkan beragam usaha yang dalam terminologi bahasa Manggarai disebut gejur. Jarang ditemukan lagi budaya gotong royong (leles, atau reje leles bantang cama) yang selama bertahun-tahun lalu mewarnai kultur agraris petani.

Bekerja secara individu dalam berusaha tani, seperti pada masa awal budidaya pertanian baru dikenal, sebenarnya tidak menguntungkan lagi dilaksanakan di masa sekarang. Bekerja secara individu ternyata sulit mengimbangi tingginya laju permintaan produk pertanian yang kini terus mengalir, contohnya dari Jawa-Bali.

Apa yang terjadi kini di Manggarai, petani hanya mampu sampai pada tingkat bekerja memenuhi kebutuhan seharihari keluarga (subsisten). Hanya sebagian kecil petani yang menghasilkan komoditas bernilai ekonomi tinggi dan merekalah yang sanggup menjawab permintaan pasar antarpulau.

Jika sekarang laju permintaan pertanian primer cukup tinggi, dibuktikan oleh banyaknya truk barang Jawa-Bali memasuki desa-desa di Manggarai (seperti Flores umumnya), petani hanya sanggup menjual ketengan. Hasilnya pun seketeng, yakni cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Begitu pula hasil kopi, kemiri, kopra, dan vanili. Jarang sekali petani menjual hasil usaha taninya dalam partai yang besar, tetapi malah sebagian terbesar masih bergerak dalam penjualan eceran (ketengan). Sadar atau tidak, petani pun terjerembab dalam posisi tawar minimal, "Daripada tidak laku, lebih baik lego saja."

Kalimat "daripada tidak laku lebih baik lego saja" biasanya tercetus dari kondisi hasil yang terbatas dalam produk, dan terbatas juga dalam ragam barang. Ditawar dengan harga rendah sekalipun petani akan menjualnya dan tidak ditunda lagi. Sebab, tidak ada pilihan lain lagi jika kebutuhan sehari-hari semakin terdesak.

CEPAT atau lambat kondisi itu akan mengerucut ke persoalan besar yang mencemaskan manusia, yakni kelaparan. Padahal terjaminnya pangan, sebagai muara dari usaha tani (perkebunan, kehutanan, tanaman pangan dan hortikultura, perikanan dan kelautan, dan peternakan) merupakan kriteria kesejahteraan masyarakat.

Ancaman kelaparan bisa terdeteksi karena petani masih berkutat pada pola budidaya tradisional, merosotnya mutu produk, produktivitas lahan rendah, akses pasar terbatas, dan sumber daya manusia rendah. Adapun laju pertumbuhan penduduk Manggarai cukup tinggi, 1,97 persen per tahun dan lahan makin sempit.

Di pihak lain, arus pasar bebas yang diatur dalam World Trade Organization (WTO) terus menguat, terutama liberalisasi pertanian. Untuk lokal Manggarai, pasar bebas dibaca lewat fenomena semakin intens masuknya pebisnis dari Jawa dan Bali, dan warga lokal hanya mampu berperan sebagai penonton.

Isu ketahanan pangan menjadi lebih menggema ketika persoalan-persoalan di atas diungkap dalam forum lonto leok HPS. Lonto leok adalah forum paling bergengsi dalam budaya Manggarai di mana semua kelompok sosial, termasuk perempuan, duduk bersama mencari solusi dan kata mufakat atas persoalan sosial masyarakat. (PASCAL SB SAJU)

0 komentar